Tanya:
Dibenarkan atau tidak seorang istri yang membuat marah kepada suaminya gara-gara seorang istri mempertahankan hak ibadah dia kepada Allah. Terkadang seorang istri saking takutnya kepada suami lebih mendahulukan kepentingan suami yang akhirnya kehabisan waktunya untuk beribadah contoh meninggalkan sholatlah jalan terakhir biar tidak membuat suami marah dsb.
Apakah itu yang sering dikatakan "surga nunut neroko katut".
Terus sejauh manakah ungkapan itu berlaku?
Rosy – Tegal
Jawab:
Saudari Rosy, keharmonisan rumah tangga itu tak bisa dipertentangkan dengan ibadah. Karena tindakan istri membahagiakan suami atau suami membahagiakan istri itu termasuk ibadah. Suami yang menghabiskan waktunya hanya untuk ibadah –kendati telah mencukupi nafkah anak dan istrinya– hingga ia tak pernah mengajak istri dan anaknya bercengkrama, jelas, seperti ini namanya dzalim. (Dzalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). Suami mendzalimi istri dan anaknya, karena ia menempatkan ibadah atas kewajiban mencengkramai mereka. Demikian juga istri yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk beribadah, sampai meremehkan kebutuhan-kebutuhan suaminya. Istri seperti ini berarti telah berbuat dzalim.
Kebiasaan ibadah istri (salat, puasa, dll) harus mempunyai jadwal tersendiri dari kewajiban-kewajibannya atas suami dan anak-anaknya. Suami pun demikian. Tidak boleh semena-mena. Harus disepakati jadwal-jadwal ibadah, bercengkrama, bekerja, dll, biar tidak merugikan anggota keluarga lainnya.
Harus dibangun kesadaran bahwa jadwal ibadah itu tak harus bertabrakan dengan waktu di mana masing-masing suami-istri harus memenuhi tugas keluarga. Nah, karena itulah suami-istri sudah seharusnya saling mengenali kebiasaan masing-masing. Kalau suami, biasanya pulang dari kerja jam 2 siang, terus makan bersama, maka sebaiknya istri melakukan salat Dzuhur sebelum itu.
Hal yang penting juga, masing-masing suami-istri harus memilah-milah jenis ibadah, mana wajib dan mana sunat. Gunanya adalah: misalnya si istri rajin tadarrus al-Qur'an, melakukan salat-salat sunat, dan ibadah lainnya yang sekedar sunat hukumnya, jika suaminya membutuhkannya di saat si istri melakukan ibadah-ibadah sunat tsb, ya, istri sebaiknya dengan rela memenuhinya. Karena ibadah yang dilakukannya jenis sunat. Sementara memenuhi kebutuhan suami (selama tidak berupa hal-hal yang terlarang) hukumnya adakalanya wajib dan adakalanya sunat.
Demikian pula suami yang rajin beribadah sunat, ia harus tahu saat mana istrinya membutuhkan cengkrama, mendiskusikan persoalan rumah tangga, cumbu dan kasih sayang, dll. Tidak boleh ia semena-mena menghabiskan waktunya untuk beribadah. Kalau sampai terjadi perbedaan sengit karena suami meminta istrinya bersekongkol melakukan kemaksiatan, seperti perjudian, pencurian, dll, maka sudah seharusnya istri tak menuruti kata-kata suaminya. Karena "laa thaa'ata li makhluuqin fil ma'shiat" (siapapun tak boleh menaati perintah sesamanya untuk melakukan maksiat).
Sampai di sini bisa dipahami, sebenarnya ungkapan "surgo nunut, neroko katut" (suami masuk surga istri ikut ke surga, suami ke neraka istri pun ke neraka) itu sama sekali tak benar. Ungkapan itu populer karena dipopulerkan orang yang tak memahami ajaran Islam yang senantiasa menekankan keadilan, di mana keharmonisan rumah tangga berlandaskannya. Adil, suami harus membina keharmonisan, sebagaimana -adil pula- istri wajib ikut menjaga keharmonisan.
Demikian, wallaahua'lam.
Arif Hidayat