Tanya:
Pak Ustadz,
Saya sudah berumah tangga kira-kira 2 tahun dan sudah mempunyai satu anak. Umurnya baru satu setengah bulan. Saya punya masalah dalam rumah tangga kami.
Sebagai suami, saya mau istri saya tinggal bersama saya di jakarta, tetapi istri saya lebih suka tinggal di rumah orang tuanya di Batang (pada saat itu sedang hamil). Akhirnya saya setuju tetapi saya minta untuk tinggal di rumah orang tua saya atau gantian. Perlu bapak ketahui, kalau di rumah ibu mertua saya istri saya sering di pengaruhi macam macam. Bahkan ibu mertua saya pernah bilang pada istri saya kalau kamu tak bahagia sama suamimu lebih baik cerai, padahal saat itu sedang hamil 7 bulan.
Akhirnya saat menjelang lahir istri saya menyusul ke Jakarta dan tinggal bersama saya. Sampai saat anak kami lahir semuanya lancar tidak ada masalah. Setelah anak kami sudah umur 35 hari, kami adakan selamatan dan ibu mertua saya datang ke Jakarta. Dan kembali ada masalah lagi kerena pengaruh ibu mertua saya.
Karena saya kesal, maka saya marah dan keluarlah kata-kata kasar. Saya bilang sama istri (pada saat itu ada ibu mertua saya) kalau masih cinta sama saya, saya minta tinggal sama saya di Jakarta dan ikut kata-kata saya. Dan kalau masih dengerin omongan (yang nggak baik) dari ibu mertua saya lebih baik bubar saja.
Pertanyaan saya:
- apakah kata-kata saya itu sudah termasuk talak?
- apakah saya berhubungan badan dg istri saya termasuk zina?
- dan apakah saya harus rujuk lagi?
- apakah saya berdosa tinggal serumah, karena masih punya anak kecil?
- dan bagaimana sikap saya terhadap mertua saya itu?
Mohon segera dijawab, dan terima kasih.
Muthohirin – Jakarta
Jawab:
Mas Muthohirin,
Talak adalah mengakhiri ikatan perkawinan dengan kata-kata cerai, atau yang bermakna cerai. Kata-kata Saudara "kalau masih dengerin omongan (yang nggak baik) dari ibu mertua saya lebih baik bubar saja", bisa berarti talak dan bisa berarti tidak. Para ulama melihat bahwa talak yang seperti ini harus disertai dengan niat. Apabila saat mengucapkan kalimat itu Saudara mengiringinya dengan niat talak maka Saudara telah menjatuhkan talak bersyarat, bila tidak ya tidak. Jadi tergantung niat Saudara ketika mengucapkan kata-kata itu.
Maksudnya talak bersyarat di sini adalah, Saudara menggantungkan talak kepada suatu kondisi di mana istri saudara tidak patuh kepada Saudara dan tetap mendengarkan kata-kata (yang tidak baik) dari ibunya. Jadi, talak baru jatuh saat isteri Saudara nyata-nyata memihak pada ibunya. Dan jika ternyata isteri Saudara masih cinta dan mau menetap dengan Saudara maka talak pun tidak terjadi.
Seandainya talak jatuh juga, maka anda masih berhak merujuk. Rujuk adalah kembali kepada ikatan pernikahan setelah terjadinya talak. Hak rujuk ini sebanyak tiga kali. Artinya seorang suami yang menalak isterinya (talak pertama) lantas rujuk, kemudian menalak lagi (talak kedua) kemudian rujuk lagi, sampai talak ketiga itu masih bisa merujuk. Namun setelah talak yang ketiga sang suami hanya bisa rujuk setelah mantan isterinya menikah dengan orang lain dan telah diceraikan oleh suami kedua tersebut.
Cara merujuk bisa macam-macam. Bisa berupa perkataan (seperti "kamu saya rujuk atua saya menyukaimu lagi") atau perbuatan yang mengisyaratkan keinginan suami melanjutkan kembali ikatan pernikahan (misalnya mencumbui istrinya lagi, walau tanpa kata-kata). Jadi, andaikan telah terjadi talak, tindakan Saudara tinggal serumah dengan isteri itu bisa disebut rujuk, karena selama masa 'iddah belum habis rujuk tidak harus menggunakan upacara ritual tertentu.
Dengan demikian jika Saudara berhubungan badan dengan isteri, maka itu tidak termasuk zina, karena dia masih isteri Saudara. Seandainya memang telah terjadi talak, justeru hubungan badan tersebut menunjukkan rujuk yang sebenarnya.
Adapun sikap Saudara terhadap mertua, sebaiknya mencari jalan keluar yang terbaik dengan dialog secara kekeluargaan. Selain itu Saudara juga sebaiknya bisa menerangkan kepada isteri Saudara bahwa, bila seorang wanita telah dinikahi, maka ia lebih wajib patuh kepada suami daripada kepada orang tuanya. Demikian semoga membantu. Wallahu A'lam.
Muhammad Niam