Tanya:
Saya berumah tangga sudah tiga tahun lebih dan punya dua anak (umur 4 bln dan 1th 8
bln). Rumah tangga saya hampir aja runtuh.
Karena saya bekerja dan gaji saya 2,5 kali lipat lebih banyak dari suami, saya yang menanggung beban biaya rumah tangga sedang gaji suami buat bayar sewa rumah listrik dan air. Sebenarnya kalau cuma menanggung hidup saya dan anak-anak mungkin masih lebih.
Tapi saya juga harus menanggung adik ipar dan kirim buat orang tuanya (ini berjalan sampai sik kecil lahir). Setelah itu saya tak mau lagi, karena saya kasihan sama anak saya. Dan saya perhatikan suami saya kayak nya terlalu memikirkan ibu dan adik-adinya (suami saya anak sulung), daripada saya dan anak-anaknya…
Yang saya tanyakan berdosakah saya menurut ajaran islam?
1. Saya jadi membenci keluarganya. Yang tidak saya mengerti, saya
sudah bekorban banyak tapi kok tidak juga mengerti mereka. (Terus terang saya
sepertinya dijadikan kuda beban aja).
2. Saya selalu menyesali suami saya karena tidak terus terang kepada keluarganya keadaan dia, biar ngerti dan nggak diteror terus (jawab suami saya "Seharusnya ngerti sendiri walau tanpa dibilang").
3. Nafkah lahir saya dibuat seperti ini dan juga nafkah batin saya sering kecewa. Berdosakah saya mencari yg lain. (Saya telah berusaha supaya dia berobat, namun nggak mau dg berbagai alasan)
Note : Saya masih menyintai suami saya demi anak-anak saya
Tolong di jawab menurut pandangan islam ya Pak!
Wasalam
Emi
Jawab:
———————–
(Psikologis)
———————–
Saudari Emi yang baik
Di sini saya akan membahas dari permasalahan yang terakhir (nomor 3) :
Saya tidak tahu persis, nafkah batin yang bagaimana yang anda maksud, sehingga anda sering kecewa? Apakah karena suami anda mempunyai gejala kelainan seksual, seperti ejakulasi prematur atau yang lain? Perkiraan saya gejala kelainan ini bukan penekanan pembicaraan yang Anda maksudkan. Kalaupun ini termasuk yang Anda maksudkan juga maka saya sarankan untuk berkonsultasi dokter ginekologi atau yang berkompeten di bidang seksologi dan kesehatan reproduksi.
Sedikit menyangkut masalah psikis, menurut teori seksologi bahwa kegagalan suami-istri menikmati nafkah batin mempunyai hubungan erat dengan kondisi psikis mereka berdua. Dan itu bisa diusahakan kembali melalui perbaikan komunikasi secara interdependen (membuka diri untuk saling membutuhkan), dan melepas sejenak segala bentuk problem lain yang mengganjal terutama agar tidak sekali-kali berbicara menyangkut keuangan, misal, di saat melakukan "pemanasan" (foreplay) saat hubungan intim.
Adapun bila penekanan Anda mengenai perasaan dosa atau bersalah memang lebih baik Anda mengetahui hukum yang akan dibahas bersama ustadz & ustadzah/tutor bidang studi fiqh (Akan saya korelasikan dengan ustadz & ustadzah/tutor bidang studi fikih)
Jawaban nomor 2:
Memang masalah keterus-terangan merupakan komunikasi yang terbaik. Karena komunikasi secara bahasa lebih lugas dan terarah. Namun Anda tak perlu menyesali mengenai sikap suami Anda. Dalam hal ini Anda bisa mengembangkan sikap responsif terhadap suami Anda. Pertama Anda bisa mempelajari kekhawatiran suami Anda, kedua banyak ahli psikologi ataupun konselor pengembangan pribadi seperti Steven R. Covey memberikan saran, bahwa mendengarkan lebih baik dari pada menerangkan, Anda bisa mencoba dengan sabar mendengarkan apa keinginan suami Anda dan itu akan membuahkan sikap intedependen, jika anda selalu ingin menerangkan agar suami Anda melakukan keinginan Anda maka Anda semakin tidak tahu apa keinginannya. Setelah Anda sudah mengetahui keinginan suami, baru Anda bisa memberikan saran bahwa komunikasi dengan bahasa merupakan alternatif terbaik karena lebih lugas dan terarah.
Jawaban nomor 1:
Jika Anda sudah siap mengembangkan sikap responsip tadi, dengan prinsip interdependensi, Anda akan bisa memperluas pengaruh Anda terhadap diri sendiri yaitu dengan selalu berpegang pada diri sendiri dan mensugesti diri sendiri. Anda selakyanya berfikir bahwa mereka memang belum mengerti. Seperti sugesti Rasulullah terhadap dirinya mengenai ummatnya yang nggak mau ngerti tentang seruan Rasul dengan doa "Allahummahdiihim fainnahum laa ya'lamuun (Ya Allah berikanlah mereka kesadaran dengan petunjukMu karena sesungguhnya mereka belum mengerti).
Demikian saran dari saya, saya ikut berdoa agar kesabaran dan berfikir positif selalu menyertai Anda. Dan saya bangga sebab Anda masih mempunyai secercah cinta yang bisa Anda tumbuhkan lagi demi semua. Percayalah Yang Maha Mendengar akan selalu menyertai ketulusan Anda.
Didik L. Hariri (Tutor Bidang Studi Psikologi Islam)
————————
(Fikih)
————————
Saya memaklumi perasaan Anda yang demikian 'ndongkol' karena ulah suami yang tak mau tahu, ditambah lagi sikap-sikap keluarganya yang memperberat beban mental Anda. Pertamakali yang ingin saya sampaikan, sama dengan tinjauan psikologi, agar Anda sedapat mungkin meningkatkan dialog dengan suami. Dari hati ke hati. Karena sebesar apapun problem yang terjadi antara dua insan, dialog akan menyembuhkan setengahnya. Cinta yang mendasari bahtera keluarga Anda merupakan modal utama untuk memupuk kembali keharmonnisan keluarga. Selama Anda optimis bisa mengembalikan keharmonisan itu, lakukanlah demi kemaslahatan seluruh anggota keluarga.
Kenyataan bahwa Anda, sebagai istri, menjadi tumpuan terbesar bagi kelangsungan keluarga bisa jadi sering mengundang tanda tanya besar: kenapa saya orang perempuan kok malah dijadikan tumpuan? Apalagi ditambah dengan sikap-sikap suami dan keluarganya seperti itu.
Sampaikanlah protes-protes Anda kepada suami secara baik-baik. Ungkapkan dengan bijaksana dan tidak emosional.
Ini semua, jika memang keadaan yang lebih baik bisa diharapkan. Misalnya dengan ketegasan sikap Anda pada suami, lantas akan merubah sikapnya, menjadi tidak cuek lagi, bisa kembali menyayangi dan menghargai, tepo-sliro, dan semacamnya. Tentu ini semua perlu kesabaran.
Dan jika Anda telah menyampaikan keluhan Anda secara baik-baik tapi suami tetap saja tak mempedulikan, apalagi jika ternyata dia menderita penyakit (ejakulasi dini, misalnya) yang menghalangi pemenuhan kebutuhan batin seperti yang Anda ceritakan, Anda mempunyai hak meminta cerai jika memang suami tidak mau mengobati penyakitnya. Tentu, sebagaimana pendapat para ulama dulu, keputusan cerai itu berada di tangan hakim: jika ternyata suami menderita penyakit dan gangguan, keputusan cerai dan tidaknya ditangguhkan setahun lagi. Tujuannya untuk mengetahui, dalam masa setahun itu, apakah sang suami tetap sakit ataukah bisa sembuh. Kalau sembuh tidak jadi jatuh cerai, dan sebaliknya keputusan cerai jadi.
Namun untuk masa sekarang ini, saya kira, untuk mengetahui kemungkinan sembuh dan tidaknya, teknologi medis akan sanggup mengetahui hal itu. Jadi Anda memang lebih baiknya konsultasi ke dokter spesialis mengenai penyakit suami Anda itu.
Selama Anda masih dalam ikatan suami istri (belum cerai), tentu Anda tidak diperbolehkan (haram) mencari orang lain. Karena setiap hubungan (seksual) di luar pernikahan, apalagi Anda telah bersuami, itu termasuk perbuatan zina dan berdosa besar.
***
Arif Hidayat
Dewan Asaatidz Pesantren Virtual